Kebaya, menurut Ria Pentasari dalam buku Chic in Kebaya, tak bisa
dipisahkan dari bangsa Arab, Tiongkok, dan Portugis. Kata kebaya
dianggap berasal dari ketiga bangsa tersebut. Menurut sejarawan Denys
Lombard, kata kebaya berasal dari bahasa Arab “kaba”, yang artinya
pakaian. Tak mengherankan jika istilah “abaya” juga masih digunakan
untuk pakaian tunik panjang khas Arab.
Sejarah kebaya bermula
pada abad ke-15 Masehi. Saat itu, kebaya merupakan busana khas perempuan
Indonesia, terutama perempuan Jawa. Busana ini terdiri atas baju atasan
yang dipadu dengan kain. Pada pertengahan abad ke-18, ada dua jenis
kebaya yang banyak dipakai masyarakat, yakni kebaya Encim, busana yang
dikenakan perempuan Cina peranakan di Indonesia, dan kebaya Putu Baru,
busana bergaya tunik pendek berwarna-warni dengan motif cantik.
Pada
abad ke-19, kebaya dikenakan oleh semua kelas sosial setiap hari, baik
perempuan Jawa maupun wanita peranakan Belanda. Bahkan kebaya sempat
menjadi busana wajib bagi perempuan Belanda yang hijrah ke Indonesia.
Menurut
perancang busana Ferry Setiawan, pada era 1940-an, kebaya dipilih
Presiden Soekarno sebagai kostum nasional. Saat itu, kebaya dianggap
busana tradisional perempuan Indonesia dan menjadi lambang emansipasi
perempuan Indonesia. Sebab, kebaya merupakan busana yang dipakai oleh
tokoh kebangkitan perempuan Indonesia, Raden Ajeng Kartini. Tak
mengherankan jika pada 21 April setiap tahun, para siswi, remaja putri,
dan ibu-ibu tampil mengenakan kebaya.
Kini para perancang busana
modern seperti Dhea Panggabean, Anne Avantie, Amy Atmanto, dan perancang
busana lainnya mampu merancang kebaya bergaya masa kini. Mereka mampu
memodifikasi kebaya menjadi lebih unik dan beragam dengan menghadirkan
keanggunan modern, sehingga kebaya juga bisa dikenakan pada saat pesta.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking